CERPEN 15 TAHUN | MAWAR SASTRAJAWA
Cerpen persembahan Ngaji Sastra Posonan dengan tema “Membaca Realita Melalui Sastra” yang diselenggarakan di Pondok Langgeng Blora, 20 – 28 April 2021.
Cerpen “15 TAHUN.” Oleh Mawar Sastrajawa.
Catatan – Namaku Sindy. Bulan depan usiaku 15 tahun. Hidup di daerah dikelilingi oleh hutan jati tidak sedikitpun mengurangi semangat belajar dan berkarya. Kehidupan manusia di tengah hutan tidak seluruhnya memiliki pemikiran maju, kerap terjadi setelah lulus sekolah tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Mereka memilih untuk mencari aktifitas yang dianggap cepat mendapat keuntungan dan hasilnya bisa terlihat termasuk dirasakan dalam jangka waktu pendek. Mereka memilih untuk bekerja seadanya, orang pinggiran hutan masih kerap untuk blandong atau mengambil kayu dari hutan. Karena sudah terbiasa mencuri kayu di hutan, sering pula terjangkit operasi dari polisi hutan, kini sudah bisa beradaptasi dan bisa mengelabuhi bahkan parahnya ada yang berani menyogok petugas demi memberi makan keluarga. Makna blandong sendiri kini sudah berubah semula merupakan pekerja sebagai pengolah hutan jati sejak kolonial tapi sekarang ada pergeseran makna blandong lebih cenderung memiliki makna tidak baik adalah dimana orang mencuri kayu jati di hutan. Kata orang, kayu jati daerahku adalah kayu terbaik dunia.
Para pemuda jarang sekali betah dan menetap di desa terutama laki-laki, bekal lulusan sekolah dasar atau menengah nekat pergi ke perantauan. Paling banyak yang menetap di desa adalah kalangan wanita, umumnya mereka jika ke luar kota memilih menjadi buruh pabrik, itu pun angkanya minoritas. Paling banyak para wanita remaja setelah lulus sekolah menengah adalah menikah. Tidak sedikit juga wanita remaja yang putus sekolah demi memenuhi pinangan dari pria sehabis pulang dari kampung perantauan.
Foto : Cerpen 15 Tahun. |
Kasus pernikahan dini di daerahku termasuk kasus teratas pada tingkat provinsi, tidak sedikit terjadi perkara kekerasan dalam rumah tangga memicu timbulnya perceraian. Terdapat disharmoni dalam keluarga karena berbagai faktor. Tren sosial media memberi ide inspirasi untuk mengikuti gaya hidup mewah, ada juga disebabkan karena faktor ekonomi atau kemiskinan, keluarga dan orang tua, budaya dan adat istiadat, pendidikan, sampai pergaulan bebas hingga menimbulkan hamil duluan before marriage.
Ada 3 teman seusiaku sudah memiliki anak, ada juga yang sudah menikah dua kali. Barangkali nasibku akan sama seperti mereka, mendengar bisik-bisik orang tua mengarahkan untuk segera mencarikan jodoh. Mayoritas warga takut karena perbandingan wanita dengan pria yaitu 1:10. Para orang tua sesegera mungkin beradu kecepatan mencari pasangan untuk anak putrinya karena takut tidak dapat kebagian stok laki-laki.
Bapak dan ibuku merupakan seorang petani tulen. Kehidupan petani sejahtera ketika musim panen tiba, musim panen adalah setahun dua kali. Jadi harus menunggu lama untuk merasakan kesejahteraan dalam bidang ekonomi. Keseharian bapak menjadi buruh tani harian, begitu menipis untuk makan. Beruntung bisa bertahan sampai saat ini meski hanya makan nasi dan sambal, sangat tidak memungkinkan ketika mencukupi kebutuhan yang berlebihan. Bagaimana mungkin aku bisa melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Pertama (SMP) saja bapak banting tulang cari tambahan upah. Rela pulang kerja malam hari.
“Sindy, ayo kita makan!” Panggil ibu telah mempersiapkan makan malam di meja tamu, karena rata-rata orang desa tidak memiliki ruang khusus makan.
“Injih buk, sebentar.” Ucapku sembari menutup buku sejarah di dalam kamar.
Aku bangkit dari tempat duduk bersebelahan dengan ranjang tidur. Di depan bapak dan ibu sudah menungguku.
“Ibumu sudah masak nasi dan sambal terong dengan lauk kerupuk.” Jelas bapak.
“Wah! Ayo pak, kita makan” Seruanku.
Keasikan kami selalu ada pada setiap sesi makan tanpa sendok (Muluk), Aku dan adikku sekarang masih di pangkuan ibu. Kebiasaan kami ketika makan adalah tidak berbicara, waktu makan bibir tidak kecap-kecap. Aku menjilat jemari muluk usai makan. Barulah sehabis makan kita membicarakan sesuatu.
“Anakku pertama sudah besar.” Ucap bapak sambil mengelus-elus lembut rambut panjangku, “Sebentar lagi akan lulus sekolah SMP.”
“Alhamdulillah, pak” Jawabku riang hati mendengar ucapan bapak.
“Sindy” Sebut bapak tiba-tiba mengheningkan suasana, nampaknya akan bicara serius kepadaku, ibu dan adikku lebih dulu meninggalkan meja makan.
“Dalem, Bapak”
“Kamu sudah akan lulus SMP, bapak tahu kamu sangat pandai, selalu mendapat peringkat paralel di sekolah,” niat bapak memuji kegetolanku dalam belajar, “Sudah punya pacar atau belum? Jika sudah cepatlah menikah, pasti calon suamimu akan senang dengan kamu atas kepandaianmu, Sindy” jelasnya.
“APA!” kagetku melotot naikkan alis, “Mana mungkin aku menikah, bapak. Aku ini masih kecil, toh aku punya cita-cita untuk melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi” jawabku.
“Sudahlah, nak” ucap bapak memelankan nada bicara sesambil memijat ringan pundakku, “Wanita mau sekolah tinggi-tinggi nanti akhirnya juga akan di dapur dan kasur” paparnya membikin emosiku naik.
“Tidak! Aku tidak ingin seperti gadis-gadis di daerah sini, menikah di usia dini” Hentakku sambil berdiri. Aku tahu sikapku barusan sangatlah tidak etis ketika seorang anak membentak orang tuanya.
“Bagaimana bapak memenuhi kebutuhan belajarmu, kamu tahu sendiri adikmu masih kecil, kebutuhan susu dan popok setiap hari terus menambah” terangnya.
Tanpa permisi aku meninggalkan bapak dari meja makan, aku sangat murung, memang menyebalkan ketika membahas tentang pernikahan. Menikahkan anak perempuan menjadi pilihan agar lepas dari tanggung jawab untuk menghidupi. Usia muda sudah punya anak, menuju anaknya dewasa akan dinikahkan, begitu seterusnya. Orang baru berusia 30 an sudah dipanggil “Mbah.”
Baca juga : Menemukan cinta di abad kehancuran.
Baca juga : Cerpen kasih ibu merawat mawar.
Cita-citaku ingin merubah pola pikir masyarakat yang selama ini membelenggu pada keberlangsungan dalam kehidupan. Bahwa orang-orang hidup di tepi hutan tidak hanya makan dan kawin saja. Wanita tidak berakhir di dapur dan kasur. Aku yakin tentang sesuatu yang akan aku lakukan tidak semudah membalikkan telapak tangan, pasti membutuhkan waktu yang sangat panjang. Prediksiku jika berhasil perubahan ini akan berjangka panjang dengan mencoba sedikit demi sedikit menyadarkan masyarakat bahwa pendidikanlah yang mampu merubah pola pikir, tapi sering kali pendidikan malah hadir untuk membuat hancur suatu bangsa.
Renungan malam membawa pikiran menembus cakrawala ruang dan waktu. Menjadi seorang wanita mesti tegap atas pertanyaan dari lingkungan, kapan menikah? Pertanyaan itu selalu menghantui sepanjang malam, beruntung masih ada ribuan bintang keberhasilan senantiasa menemani keheningan dalam gelap.
“Bangun, Sayang. Sudah pagi.” Ibu membangunkanku dengan penuh kelembutan.
“Hmm…” Aku hanya ‘molet’ meregangkan badan, memang aku selalu bangun kesiangan karena hampir setiap malam jarang bisa tidur di bawah jam 12 malam. Tidak seperti lazimnya seorang gadis.
Lihat jam di Hand Phone sudah jam 08.13, gegasku bangun dari tempat tidur dan cuci muka, sementara bapak sudah di sawah garapan. Aktivitas rumah biasa kulakukan, membersihkan selokan, cuci piring sampai menyapu pelataran rumah. Sesambil menghangatkan tubuh di bawah surya dengan tanpa lelah menyibukkan orang-orang berangkat kerja.
“Sindi!” Sapa tetangga melintas jalan depan rumah.
“Oh, iya!” Sahutku tampakkan wajah ceria semangat.
Ada juga simbok-simbok memanggul kayu bakar dari hutan, seraya berkata “Pintarnya nak sindy, rajin membantu orang tua” berhenti sejenak dan melanjutkan ucapannya, “Engkau adalah calon menantu idaman.”
“Injih monggo.” Jawabku menganggukkan kepala.
Befff… Pemandangan esok pagi indah, pupus dengan kata-kata simbok menampar jiwa. Kata-kata itu sudah keluar dari bibir manusia, mau tidak mau mesti kutelan.
“Sindy! Sini, nak” Panggil ibu dari dapur.
“Injih, buk” segeraku menaruh arit dan sapu.
“Ayo, nduk bantu ibu siapkan sarapan, sebentar lagi bapakmu akan pulang dari sawah.” Ucap ibu.
“Buk.” Kata keluar dari mulutku disela-sela siapkan sarapan.
“Apa, Nduk?” Tanya ibu.
“Aku bolehkan melanjutkan sekolah?” Pintaku, “Aku boleh Pandai kan?”
“Siapa orang tua yang tidak menginginkan anaknya pintar?” Jawab ibu sekaligus bertanya balik, “Tapi kamu tahu sendiri kan, jika kamu sekolah lagi dari mana dana untuk mencukupi belajarmu?”
“Tapi, bu” ingin kujelaskan namun bapak telah datang.
“Assalamualaikum.” Salam bapak dari ambang pintu.
“Waalaikumusalam” jawabku dan ibu.
Suasana kedua orang tua sangat gembira, susana hatiku sangat sedih. kami melangsungkan sarapan bersama. Tidak pagi-pagi amat, kita sarapan jam 09.00, Aku berharap bisa mengambil hati kegembiraan bapak dan ibu di momen sarapan nasi, sambal dan kerupuk sedikit gosong yang dihangatkan kemarin. Diterima atau tidak, harus aku sampaikan terkait apa yang telah menjadi keresahanku. Tibalah saatnya bicara setelah sarapan sebelum sibuk beraktifitas.
“Bapak, ibu. Sindy minta tolong, mengertilah dengan apa yang aku cita-citakan.” ucapku berbarengan bapak menyalakan rokok pabrik disumbatkan di mulutnya.
“Nduk, mengertilah keadaan orang tuamu ini” jelas bapak sembari mengeluarkan asap dalam mulut perlahan, “Cita-cita itu sebagai motivasi agar semangat, tidak harus kesampaian, tapi keadaan berkata lain.” imbuhnya.
Entah kenapa situasiku semakin jatuh, kata-kata telah aku susun rapi-rapi hambar tanpa jejak. Memiliki pemikiran yang tidak sepadan dengan masyarakat umumnya memang sulit untuk aku jelaskan kepada siapapun termasuk orang tuaku sendiri. Membalikkan mitos begitu sulit, aku hampir tidak bisa membedakan antara keinginan dengan keegoisan.
“Pokoknya aku ingin sekolah!” Judesku keluar dari mimik tegakkan tubuh.
“Aku hanya mampu menyekolahkan kamu sampai di sini (SMP)” Kata ibu memelas. Sementara aku tetap menampakkan muka judes.
“Ya sudah, jika nak sindy ingin melanjutkan sekolah silahkan,” Sesantainya bapak mengatakan, “Tapi, cari sangu sendiri, tidak apa-apa kok.” Sepertinya bapak menantangku.
“Bapak, Ibu hanya bisa mendoakanmu, nduk.” Sahut ibu.
“Oke, aku terima tawaran kalian!” Yakin disertai penuh perasaan murung egois, Aku bersepakat, mengambil resiko dan kiranya memikirkan konsekuensi-konsekuensi yang akan kuhadapi nanti. Seketika aku meninggalkan bapak dan ibu.
Seharian penuh alat berpikirku tak karuan, persendian tubuh memalas aku gerakkan. Bagaimana bisa aku melakukan atas apa yang aku ucapkan? Apakah salah mengambil keputusan ketika hati tidak tertata sebagaimana dinginnya? Jika saat itu hati sedang stabil, mungkin aku akan mengikuti apa kata orang tua, akan sama dengan lazimnya gadis-gadis di daerahku. Berpakaian keibuan, menyusui anak di teras rumah, tangan berbau sabun dan dapur.
Bukan berarti aku menolak semua. Tapi apa salahnya ketika menjadi seorang wanita mengejar karier. Pilihan menikah selalu menjadi opsi utama pada wanita remaja seusiaku. Bagiku menikah bukanlah sesuatu yang mudah, memang gampang ketika dibicarakan pucuk bibir tapi sangat sulit untuk dilakoni. Jika belum siap, akan berdampak dengan keharmonisan keluarga. Menikah bukan hanya menyatukan dua kepala, tapi juga dua keluarga.
Aku akan membalikkan mitos yang selama ini menghantui masyarakat, begitu menghambat pola kemajuan kehidupan. Aku butuh waktu lima sampai sepuluh tahun untuk menjawab sekaligus memberi wajah baru kehadiran wanita.
Klik link : Aku titip karya dan cinta.
Klik link : Jam 8:18 dalam perjuangan mempertahankan cinta.
Satu setengah bulan kemudian, tiba waktunya pengumuman kelulusan sekolah. Kali ini orang tua mengambil pengumuman kelulusan, bukan murid yang mengambilnya. Jadi aku cukup menunggu hasilnya di rumah. Waktu matahari tepat menerik berada di atas kepala, aku masih belum beres mencuci piring, tinggal beberapa mangkok dan sendok masih kotor. Nyaris selesai mencuci perabotan, ibu sudah datang menenteng surat pengumuman kelulusan. Aku tahu kelulusan dan peringkat bukan sebuah prestasi yang luar biasa, tapi lulus hanya untuk membanggakan orang tua. Pendidikan formal telah mengakar sebagai kebutuhan untuk mencari pekerjaan, dalam hal ini adalah ijazah. Tidak tahu ilmu apapun tidak masalah, asal punya ijazah. Ijazah itu bukti pernah sekolah, bukan bukti punya ilmu. Apakah akan ada kemungkinan di antara keduanya nanti sama-sama tidak penting.
“Sindy…!” Teriak Ibu datang langsung memelukku dan mencium pipi kanan kiri, untung sudah cuci tangan. “Ibu, bangga sekali dengan kamu, nak.”
Aku sudah menduga, bahwa aku lulus. Makanya aku biasa saja. Bukan persoalan kepedean, sekolah zaman sekarang tidak ada namanya tidak lulus atau tidak naik kelas. Ikut alur sesuai aturan main pasti naik kelas dan jika sudah waktunya pasti lulus. Aku hampir tidak menemukan siswa yang tidak naik kelas, padahal membaca saja masih mengeja. Lembaga pendidikan lebih malu jika anak didiknya tidak naik kelas. lebih memilih mengeluarkan siswa nakal dari sekolah, daripada menyuruh siswa mengulangi pelajaran setahun. Mungkin bisa jadi kalau administrasiku tersendat, aku bisa tidak lulus.
“Apa sih, buk” Jawabku cuek. Juga sedikIt risih di sayang ibu tanpa jijik.
“Ibu bangga denganmu, nduk. Kan tidak salah.”
“Bangga bagaimana? Lulus itu sudah menjadi kewajaran.” Ucapku memandang amplop yang dibawa ibu.
“Eh, jangan salah. Lihat ini,” Sahutnya sambil menyodorkan amplop pengumuman kelulusan, “Tadi di sekolah guru menyebut siswa berperingkat 5 besar dan kamu salah satu yang disebut.” Ceria ibu.
“Ah. Masak sih,” Sembariku membuka amplop itu tanpa perekat.
“Iya, Sindy. Kamu dapat rangking 4 di kelas.”
Aku ceria sekali seusai melihat keterangan di dalam amplop. Sesuai apa kata Ibu aku lulus beserta peringkat 4 besar di kelas. Mayoritas masyarakat beranggapan bahwa anak sekolah harus berprestasi dengan ukuran mendapat peringkat kelas atau prestasi-prestasi dari perlombaan mewakili sekolah. Ketika meraih hal tersebut otomatis status sosial naik, menjadi cerminan tetangga lain. ‘Lihatlah si dia, sekolah di SMP itu menjadi pintar. Anakku harus sekolah di sana agar bisa pandai seperti si dia.‘ Sejauh ini keberadaan siswa menjadi penentu baik atau buruknya sekolah. Jika siswa pintar maka sekolahnya juga mendapat pujian, jika muridnya bodoh maka sekolah juga mendapat cacian. Ada pula orang berkata, muridnya pandai karena dari sekolah, muridnya bodoh itu salah sendiri tidak mau belajar.
Problem dinamika pendidikan dimulai sejak berdirinya lembaga pendidikan. Doktrinasi salah kaprah terus dilontarkan. Lalu bagaimana dengan aku yang masih membutuhkan pengetahuan. Masih 3 tahun lagi untuk memenuhi kewajiban belajar dari pemerintah. Wajib belajar 12 tahun. Batasan itu membuat pola pikir semakin terkekang. Padahal kata sekolah dari bahasa latin yaitu skhole, scola, scolae atau skhola yang memiliki arti: waktu luang atau waktu senggang. Kegiatan tersebut dilaksanakan diantara kegiatan utama mereka yaitu bermain atau aktivitas lain. Sampai di indonesia sekolah berubah makna menjadi bangunan dan ruang. Bukan waktu luang, tapi diwajibkan.
Ekonomi keluarga terguncang, karier pendidikan terancam, orang tua mengharapkan aku untuk membantu menyokong kebutuhan rumah. Ikut menjadi bagian orang-orang pencari nafkah. Aku terbentur dengan kondisi ini, jiwaku tergugah untuk melanjutkan pendidikan, ragaku diharapkan oleh pekerjaan. Jiwa dan raga tidak bisa terpisah, mengharuskanku memilih salah satu diantaranya. Semua pilihan ada resikonya. Inginnya semua terpilih, tapi apa bisa? Serakah sekali aku. Rata-rata di kampung memilih putus sekolah, jadi buruh pabrik adalah status bergengsi. Atau tidak pilih keduanya, mengambil jalan lain, yakni nikah muda. Aku tidak bisa membayangkan, usia 19 tahun punya anak, 15 tahun kemudian sudah dipanggil ‘Mbah.’ Begitu seterusnya. Mbah-mbah muda jadi penduduk mayoritas. Pribadi tidak bisa menyalahkan karena itu bagian dari pilihan.
Tidak ada percakapan hari ini, semua bersikap dingin. Ucapan bibir bisa dihitung jari, saat “batuk,” “em,” “ya,” “itu.” Otakku hampir meledak. Tanpa ada orang tahu kondisiku, termasuk aku tidak punya teman mencurahkan isi hati. Semua menyumbat di dalam kepala. Aku menduga jika tidak sesegera bertindak melanjutkan sekolah, orang tua pasti menawarkan pria untuk meminang diriku.
Andai tidak punya kesadaran akan pentingnya ilmu tentu nasibku sama dengan anak-anak pada umumnya. Seluruhnya berdampak pada sisi psikologis, biologis, ekonomi, sosial, pendidikan dan hukum. Sudah sejak lama kasus ini terjadi, seolah menjadi tradisi dan mengakar. Minimnya pendidikan dan sosialisasi dari pemerintah membuat semua orang kini semakin sulit disadarkan, adanya standar usia menikah tidak digubris, peraturan dengan mudah dinegoisasi. Perputaran bulan dan matahari mengkerdilkan aku tampak susah gerak. Membalikkan omelan orang tidak mudah, jegal-menjegal terjadi secara langsung pada kehidupan di depan mata, tidak ada jaminan keselamatan. Benarkah semua manusia ingin selamat? di bawah mati-matian mempertahankan hidup, di atas enak-enakan mempermainkan hidup.
Seperti hari-hari kemarin, kebiasaan di pagi hari menyapu, bersihkan selokan, “isah-isah”, menyiram tanaman di taman. Tapi hari ini aku bergegas menyelesaikan tugas rumah tak tertulis ini sebab aku akan mencari dana untuk melanjutkan sekolah. Memang bapak dan ibu pagi hari selalu repot, mereka mengetahui kegugupanku karena tidak biasa seperti kemarin.
“Mau ke mana, nduk?” Tanya bapak sambil menenteng kopi panas untuk di bawa ke meja depan, “Pagi-pagi sudah rapi, wangi lagi.” Duduknya di kursi panjang.
“Minta restunya, bapak” Sungkemku padanya, “Aku akan mencari uang pinjaman di Bank untuk sekolah, tekadku sudah bulat.”
Awalnya bapak sedikit melarang, sudah banyak persoalan muncul karena hutang. Tapi karena aku sedikit menekan, perlahan mencoba menjelaskan kepada bapak akhirnya dengan berat hati aku di beri izin.
“Bapak tidak tahu dengan apa maksud kamu,” Resahnya sambil membangunkanku dari sungkem, “Semoga kamu diberi keselamatan.”
“Semoga maksud kamu terwujud, nak.” Doa ibu telah ada di samping bapak.
“Amin.” Sungkemku pada Ibu.
Aku bangkit berjalan meninggalkan rumah menuju gapaian cita-cita telah lama aku impikan. Berjalan semangat seperti melayang di udara, bukan dalam halusinasi atau imajinasi khayal, benar-benar aku ada dan nyata. Beberapa berkas kubawa termasuk kartu identitas siswa masih kusimpan rapat-rapat.
Perjalanan tidak cukup jauh namun terik matahari pagi membuat tubuhku mengeluarkan keringat serta tenggorokan kering, beruntung aku selalu ingat membawa air minum di tas bagian samping. Di bawah pal listrik terteduh pohon mahoni 6 meter dari posisiku, aku melepas dahaga bersama bocah kira-kira baru umur 4 tahun, ia duduk tak beralas juga meminum es dalam plastik dengan sedotan. Ia lebih dahulu berada di bawah pal sebelum aku tiba. Tidak tahu asalnya, wajahnya kusam, baju robek-robek, rambut kumal. Sulit kuketahui apakah dia bocah kaki-laki atau bukan. Aku tidak bisa berpikir apapun, ngertinya kita sama-sama kehausan melepas dahaga di satu tempat.
Kemudian aku meninggalkannya tanpa permisi, Bank tujuanku tinggal 50 meter lagi, sudah terlihat satpam menjaga pintu, motor terparkir rapi, mobil mengkilap licin. Semangat berjalan menuju kantor bank, orang-orang saling antri sampai di teras. Begitu mudahnya bank jadi opsi penyelesaian ekonomi. Tak terkecuali Aku. Hutang hari ini, besoknya bingung mengembalikan. Ketika aku menginjakkan kaki di atas paving sepertinya aku melihat saudara sedang antri di ATM menunggu gilirannya tiba, Dia katanya sih sukses di kota. Karena gugup, Aku tidak menamatkan orang itu, bisa jadi Aku salah orang.
“Maaf, dik, adik mau apa?” Hadang satpam di depan pintu kaca tebal.
“Mau pinjam uang, pak, untuk biaya sekolah.” Jawabku sedikit deg-degan karena nampaknya pak satpam galak.
“Orang tuanya mana, Kok sendiri?” Tanyanya lanjut, sepertinya ia mulai tidak percaya atas kedatanganku.
“Aku sendirian pak.” Jelasku.
“Maaf, adik belum cukup umur” Tolaknya halus dan memberi kode tangan mempersilakan pergi, “Ke sinilah dengan orang tua.” Imbuhnya.
“Bagaimana aku ditolak hanya karena belum cukup umur? Banyak orang cukup umur yang hutang tapi tidak bisa bayar” Ngeyelku sedikit.
“Anak kecil dibilangin malah begitu” Pak satpam mulai emosi.
“Aku akan lunasi nanti, pak” Kuperkuat alasan, “Toh juga untuk biaya sekolah” Mohonku.
“Tidak!” Lantangnya, “Cepat pergi! Sebelum kami bertindak kasar!” Sesambilnya menuding ke arah luar.
Sesaat aku terdiam menunduk, berjalan penuh tangis melemas. Kusandarkan tubuh ke pal listrik awal tadi, tapi bocah itu sudah pergi hanya meninggalkan sampah plastik es. Panasnya hari ditambah panasnya cuaca, perasaan tak karuan sedang melanda. Menuju cita-cita kini gagal, problem pendidikan tak bisa terselesaikan. Anak bangsa hilang masa depan.
“Sindy… Sindy…” Ada orang Dari arah belakang memanggil-manggil namaku. Ternyata saudaraku tadi, aku kira salah orang.
Dia menemuiku dan bertanya, kemudian aku menceritakan semua tentang persoalanku selama ini. Akhirnya Aku ditawari untuk sekolah di kota. Dengan ketentuan membantu urusan rumah. Bagiku tidak masalah, aku langsung mengiyakan tawaran itu. Aku bisa sekolah sampai lulus, menjadi siswa berprestasi di sekolah.
<
p style=”text-align: center;”>——— Selesai. ———
Blora, (11/06/2021).
Mawar Sastrajawa.