BERLANJUT PADA VISI SETELAH CITA-CITA
Catatan – Letih mata memandang sinar monitor, Aku letakkan lengah kejenuhan pikiran bebal. Serasa ada kapas mengganjal di kelopak, menerima pegal kaki bersandal.
Hari yang biasa untuk aku lalui, Aku mengambil selembar kertas terselip dari mesin printer, mengambil pena dari wadah bambu buatan sendiri. Kembali memusingkan diri dengan cara lain, memilih diksi-diksi puitis untuk bercerita di atas kertas.
Foto : Mawar Sastrajawa. |
Aku hampir tidak tahu definisi narasi, naskah, atau lainnya. Aku hanya mencoba menuliskan gambaran dari imajinasi, selalu menghantuiku pada bayang.
Bukan skripsi pelindung diri dari profesi. Tapi bayangan inspirasi selalu ada dalam pikiranku, membuat jemari tidak bisa berhenti menulis. Pandangan dalam menulis jauh dari dimensi manusia pada awamnya.
Baca juga : Tanah lapak.
Baca juga : Opsi pamungkas lawan kapitalis.
Aku mesti tahu sifat-sifat dalam diri insan. Ketika menulis kebaikan, sejatinya juga faham tentang ketidak-baikan. Pun sebaliknya. Sungguh antagonis dan protagonis bertarung dalam diri, hati dan pikiran sering tidak akur. Logika nurani meleburlah untuk kebahagiaan cinta.
Bukan kebenaran dan kesalahan untuk kita jadikan ideologi, tapi keindahan menyertai cinta dalam jiwa suci. Cukup pena murahan, berguna berlanjut pada visi setelah cita-cita.
Klik juga : Empty space.
Klik juga : Revolusi kehancuran.
Terlanjur menulis, Aku kewalahan menghentikan pucuk pena yang terus menggoreskan hitam tinta. Kenapa tidak terjadi ketika mengalami kebuntuan? Ada kala imajinasi perlu dimanja. Ada kala inspirasi mengajak bercanda.
Tulisan tangan di kertas memang tidak serapi ketikan jari di layar digital. Coretan membekas sampai dibalik kertas, emosi mengetik hanya terlihat jelas di saat mengklik qwerty sampai space.
Haha. Ekspresi mimik mendokumentasikan skrip, rahang sampai-sampai menggigil histeris mendesis. Udara lepas nafas tanpa punya alamat, bebas menghembuskan karbon dioksida tanpa arah landas. Blora (13/05/2021).
Mawar Sastrajawa.