TANAH LAPAK | MAWAR SASTRAJAWA
Catatan – Semenjak bait berhias sajak, aku mematung tanpa ajak. Rusaknya jalan kricak-kricak berantakan berserak. Bukan salah pejabat lahir tenang zodiak.
Rakyat protes dengan pejabat, kempit saja di ketiak. Memang pemimpin lebih lucu dari pelawak. Di luar, rakyat demo keadilan, di dalam pemimpin tertawa terbahak-bahak. Demokrasi kita apakah beda nasib dan sanak?
Foto : Tanah Lapak. |
Elit makan enak. Proletar kebingungan cari penghunian layak. Tanahnya terus saja terinjak-injak. Oleh mereka, tuan tak bertelapak.
Isu keuntungan sumbangan rakyat lebih marak. Tanah kita bukan tempat bebas lapak. Seolah kami tidak punya hak. Anjingmu bawa pulang saja, pak.
Baca juga : Melinting adalah opsi lawan kapitalis.
Baca juga : Revolusi Kehancuran.
Tanah ya tanah, untuk cucu dan anak. Bukan untuk cuma-cuma lebur pada duplak. Tanah lapak rakyat untuk para bapak bapak pejabat yang katanya membela hak-hak rakyat.
Oh ya ya, tanah lapak. Oh ya ya tanah lapak.
Hentikan segalanya cara menghancurkan flora fauna dan mari minum kopi sejenak. Bukankah menyelaraskan rasa kemakmuran perlu setumpuk otak. Stop perilaku kalian yang sangat membikin muak. Harta dan rumah tanah terbeli tengkulak.
Klik : Empty Space.
Klik : Manusia Bagian dari Sampah.
Keindahan kelicikan bangsat tanpa corak. Kekreatifan karya seniman tak beruang sulit dapat label prodak. Habis sudah populasi babi dan luwak, dari peluru tangan tanpa ada rasa gejolak.
Pun orang miskin cukup bekerja dari kayu bakar yang mereka kapak. Kesulitan menikmati enaknya buah rambutan dan salak. Mata pencaharian utama menunggu turun hujan cari katak. Aku kembalikan kepada musisi dalam pergulatan lagu menemukan sajak.
Blora (11/05/2021).
Mawar Sastrajawa.