MENEDUH DI BAWAH TEMPURUNG TERAS DALAM GERIMIS RINDU.
Catatan – Tempurung teras tempatku berteduh sementara, dengan rintik hujan yang begitu awet. Jatuhan air hujan memercik membasahi kaki dan melicinkan sandal. Dingin membeber ke seluruh anggota tubuh. Jaketku tak mampu menahan suhu dan sepertinya hujan akan lama reda.
Habis 2 batang rokok hujan masih sama seperti 2 jam lalu, tetap gerimis kerap. Aku masih konsisten menunggu reda. Jemari mulai menggigil sedikit melengket.
Baca juga : 818 dalam mempertahankan perjuangan cinta.
Baca juga : Bicara dengan fajar, mentari intip ufuk.
Kantuk menyelinap tepis kelopak mata memerah pecah-pecah. Populasi nyamuk menyerbu telanjangan kulit tipisku. Tidak! Hujan kian menjadi pada pergantian hari. Blora (17/01/2020).
Percik gatal-gatal kaki sebab air dan menggemukkan nyamuk malaria. Bagi kita tepuk tangan adalah pujian atau apresiasi, namun bagi nyamuk tepuk tangan itu menjatuhkan dan membunuh.
Foto : Meneduh di bawah tempurung teras dalam gerimis rindu. Blora (17/01/2020). |
Gerimis rindu ini merekatkan keimanan cinta, para penghisap darah masih mengancam diri meneduh di bawah tempurung teras. Harap tiada tersampaikan karena terhalang jutaan tetes merintik menolak salam.
Aku melokoskan diri dari tempurung teras menyebalkan ini tanpa pandang hujan. Kendarai motor tak berjas-hujan memecah desis gerimis dan cebongan air genang jalan rusak. Raut muka penuh ekspresi dampak tetes air langit menabrak wajah.
Klik : Wanita terbaik yang pernah aku temiu sepanjang hidup.
Klik : Angin tipu-tipu.
Tiba di rumah basah kuyub tanpa kekasih. Dengan kemandirian memberanikan tubuh aku bilas tawar air. Selanjutnya ganti pakaian dan tidur masih membawa kerinduan-kerinduan kenangan mesra bersamaNYA.