AKU, KAMU DAN CERITA YANG TAK PERNAH USAI
Semilir angin malam menyanyat kulit, rasanya ngilu, angin berhembus pelan namun memberi efek luar biasa dingin, hujan rintik-rintik beraturan, tak terlalu deras, tapi cukup membuat pengunjung cafe tempatku berkumpul dan teman-temanku malam ini mengurungkan niatnya untuk beranjak dari duduk. Ku rapatkan jaketku, lalu menatap ke arah dia yang menjadi moodbosterku setahun terakhir ini.
Foto : Aku, kamu dan cerita yang tak pernah usai. |
“Apa yang akan kita lakukan disana?” tanyanya, pandangannya menyapu apapun yang ada depannya, namun ketika pandangannya ke arahku dia segera berpaling.
Ku ketuk-ketuk tanganku di atas meja, mencoba berpikir keras, lalu aku mendapat sebuah ide.
Ku ketuk-ketuk tanganku di atas meja, mencoba berpikir keras, lalu aku mendapat sebuah ide.
“kita bakar-bakar ikan, ayam, buat kopi, mie gelas, lalu bobog deh”. clotehku, semua orang yang di hadapanku menatapku bingung, lalu satu persatu menghembuskan nafas berat.
“kita lagi serius bochil (bocah kecil)!” Seru Alfin, lalu menjitak kepalaku pelan.
“kita lagi serius bochil (bocah kecil)!” Seru Alfin, lalu menjitak kepalaku pelan.
“Awww, sakit”. Jeritku sambil memasang muka cemberut, semua orang tertawa melihat tingkahku. kecuali si dia yang hanya tersenyum, senyum yang tak ku pahami apa maksudnya.
Kami anak Mahasiswa Pecinta Alam “MAPALA” semester lima sedang merencanakan camping, ya, aku dan dia bertemu di sebuah organisasi MAPALA kampus, tepatnya satu tahun yang lalu, walaupun sudah setahun kami tak pernah benar-benar berbincang, ketika bertemu diluar jadwal MAPALA pun kami tak pernah saling sapa. Tapi entah karena apa hatiku telah jatuh padanya.
Kami anak Mahasiswa Pecinta Alam “MAPALA” semester lima sedang merencanakan camping, ya, aku dan dia bertemu di sebuah organisasi MAPALA kampus, tepatnya satu tahun yang lalu, walaupun sudah setahun kami tak pernah benar-benar berbincang, ketika bertemu diluar jadwal MAPALA pun kami tak pernah saling sapa. Tapi entah karena apa hatiku telah jatuh padanya.
Setelah berdebat cukup panjang, akhirnya diputuskan kalau campingnya di hutan milik kampus yang letaknya tak begitu jauh, dan karena disana ada sungai juga kamar mandi buatan yang bisa di gunakan membuat kami lebih memilih hutan buatan kampus.
*****
Kicauan burung bersahut-sahutan, suaranya seirama bak paduan suara di acara tahunan kampus, membangunkanku dari peraduan, masih pukul 04:30, matahari belum memamerkan cahayanya, aku menguap pelan, kulirik teman-teman yang tidur di sampingku, mereka masih terlalap, mungkin kelelahan setelah begadang semalam. Ku rapikan jilbabku lalu membuka tenda tempatku tidur, yang pertama kali menyambutku adalah senyumnya, jantungku berdetak tak beraturan, ku tarik nafas dalam-dalam mencoba mentrealisir suasana, akupun membalas senyumnya.
“Udah bangun?” Tanyanya, dan melanjutkan “mau kemana?”
“Mau sholat, boleh minta tolong antar bentar ke sungai?” pintaku.
“Iya boleh”. jawabnya, akupun beranjak dari dudukku, lalu menguti langkahnya. Kami berjalan bersisian namun tak ada yang berbicara, segalanya terasa canggung. Mungkinkah dia punya rasa yang sama denganku, jika tidak bukankah seharusnya dia bersikap biasa saja. ahhh, teriakku dalam hati, aku menghembuskan nafas berat.
“Kenapa?”. tanyanya dengan raut wajah khawatir.
“nggak, gapapa kok”. jawabku dengan senyum yang mungkin menurut dia senyuman aneh.
“nggak, gapapa kok”. jawabku dengan senyum yang mungkin menurut dia senyuman aneh.
Sesegeraku beranjak ke sungai yang tak jauh dari tendaku nikmati persatuan dengan alam dan kejernihan air sungat mengalir tipis-tipis.
****
Di rumah, setelah sarapan aku segera melenggang pergi dari dapur, ku lihat mama sedang menyiram bunga di taman kecil depan rumah, langsung ku hampiri, ku cium punggung talapak tangan beliau.
“Assalamu’alaikum” ucapku, tanpa menunggu jawaban mama aku langsung berlari ke jalan, mencari Taxi.
Sampai di kampus, tak sengaja aku papasan dengan Dia, aku tersenyum kikuk, Dia menghampiriku.
“Hay Na” sapanya, aku membalas sapaannya dengan senyum, “Nanti sore ada waktu nggak?” tanyanya kemudian. Aku menggeleng.
“Ada sesuatu yang mau aku omongin, bisa ketemu nggak?” tanyanya lagi, aku mengangguk.
“Aku tunggu di kedai Mangga jam Empat ya”. ucapnya lagi, setelah ku jawab iya, Dia berpamitan. Ahh, jantungku kembali berdetak tak beraturan, apa yang akan dia bicarakan nanti, apa yang harus ku lakukan ketika bertemu dia nanti, aku bukan orang yang mudah bicara dengan orang yang aku cintai, apalagi dia orang yang sangat cuek. Arrrrggghhh, aku teringat ada kelas pagi ini, aku segera berlari ke kelas, melupakan sejenak tentang Dia.
****
Pukul Empat sore, aku telah sampai di kedai mangga, ku arahkan pandanganku ke segala arah belum ada sosok yang ku cari, akhirnya aku duduk di kursi paling ujung, dekat jendela. Dari sini pemandangan kota jogja terlihat amat indah, langit jingga menambah anggun pemandangan dari lantai dua ini. Berselang beberapa menit, Dia datang membawa sebuah kotak yang tak ku tau apa isinya dan untuk siapa.
“Maaf, udah nunggu lama ya?” Tanyanya, lalu duduk di hadapanku.
“nggak kok” jawabku lembut sedikit senyum. Seorang pramusaji datang membawa daftar menu, aku memesan makanan sama yang dia pesan. Setelah selesai makan dia mulai berbicara.
“Na, orang tua aku akan pindah ke palembang dua hari lagi, aku harus ikut dengan mereka” paparnya.
Jleebbb, bagaikan di tusuk pedang jantungku terasa amat sakit mendengar ucapannya, namun yang membuat aku berpikir keras bukanlah soal itu, tapi untuk apa dia memberitahuku sedangkan aku bukan siapa-siapa dia.
“Aku sayang kamu, Na. aku telah jatuh hati padamu sejak pertama kali kita ketemu, namun, aku hanya laki-laki pengecut yang tak berani jujur, aku takut dosa karena aku tahu pacaran itu di larang agama, aku tahu kaupun juga tak ingin pacaran bukan ?” ucapnya lagi, aku mengangguk. “Aku tidak minta untuk kamu mau menunggu atau tidak, dua tahun lagi aku akan kembali datang, jika kamu telah memilih seseorang untuk melengkapi separuh agamamu, aku tak apa, namun jika kamu belum memiliki seseorang aku harap kamu mau ya nerima aku, aku pamit” ucapnya, lalu menyodorkan kotak itu padaku.
Setelah dia pergi ku buka kotak itu, sebuah baju renda dan jilbab warna pink beserta secarik kertas bertuliskan: ‘Aku berharap kau mau mengenakan ini ketika aku datang melamarmu nanti, jika orang lain yang melamar, aku harap kau juga mengenakan ini’, harapnya dalam surat.
Aku menangis dalam diam, inikah jawaban atas doaku ya allah. Jika iya, maka aku akan menunggunya sampai ia datang kembali. Walau aku tak tahu seperti apa cerita hidupku nanti.
The End.
Tentang Penulis : Siti Yuli Ernawati, mahasiswi STAI Khozinatul Ulum Blora, semester Tiga, tertarik dan mendalami dunia sastra sejak SMA sampai saat ini.