SELAMAT PAGI, NAK.
Catatan – Mendekap di sudut kota dan tidak mampu berkutik karenakan hujan dan berselimut jaket menghangatkan tubuh.
Foto : Selamat pagi, nak. |
Secepatnya aku prepare, 07.00 am ku meminta kawan menghantarkan ke rumah sakit yang tempatnya tak jauh dari kost. 2 saudara sepupu sudah menunggu di ruang tunggu.
Klik : Berbinar-binar
Klik : Daun mustika
“Katakan bagaimana keadaannya?” Tanyaku
“Awalnya, malam di puskesmas. Selama 8 jam lebih tidak ada perubahan. Cepat kita larikan ke rumah sakit kota. Syukur, sudah pembukaan 9, tinggal menunggu jabang bayi lahir ke dunia” terangnya. Selasa, (08/12).
Hal yang paling menjenuhkan adalah menunggu. Penemu pasien dibatasi 2 orang beridentitas kartu tunggu sebab pandemi dan di ukur suhu tubuh. Aku hanya duduk diam melihat keadaan rumah sakit.
Orang-orang berjalam tegak gugup, satpam memeriksa pembesuk, tabung pemadam kebakaran tercentel dekat pintu, petugas pembersih mengepel di pagi hari. Slogan dan baliho habis ku baca.
Duduk berdampingan dengan pembesuk semua saling diam memangku kakinya sendiri (jawa ; jegrang). Tangis sang bayi terdengar dari dalam ruangan mbak sepupu, rupanya jagoan telah menembus pintu masuk dunia pertama dengan semangat dan selamat.
‘Selamat pagi, nak’.
Kulitnya lembut, wajahnya mungil, beralis tipis, rambut hitam tebal. Pemimpin masa depan. 33 beratnya, tinggi 45. Perawat meminta bayi segera diadzani sang ayah.
Ada harapan masa depan mendatang, bangsa menjadi milikmu, rawatlah. Jangan kecewakan keluarga dan dunia yang menanti perubahan darimu, nak. Tangisan pertamamu menjadi saksi awal kesiapanmu bercokol di muka bumi.