The Sounds of Silence: Suara Kritis di Era Polarisasi

Bandung – Dalam suasana sosial yang semakin terpolarisasi, karya sastra terbaru dari W. Sanavero, The Sounds of Silence, hadir sebagai oase keheningan yang mengundang pembaca untuk merefleksikan diri.
Melalui kumpulan puisi modern dengan bahasa inggris yang dibukukan dan telah rilis di World Book Fair 2024 lalu oleh Paper Town Publishing, Kolkata, India. Sedangkan di Indonesia baru rilis pertama kali dalam bentuk E-Book.
Buku tersebut didiskusikan secara kritis dan kreatif di Indonesia oleh Kurator Bandung Berpuisi, Bob Anwar dan Komuji Indonesia.
Sebagai debutnya di genre puisi, Sanavero berhasil menciptakan karya yang tidak hanya indah secara estetika, tetapi juga mengundang pembaca untuk berpikir kritis tentang isu-isu sosial yang sedang dihadapi. Dengan bahasa yang sederhana namun mendalam, Sanavero mengajak pembaca untuk memasuki ruang keheningan yang memungkinkan mereka untuk mengenali diri sendiri dan lingkungan sekitar.
Perempuan asal Kabupaten Blora itu telah melakukan pre-launching salah satu karyanya yaitu The Sounds of Silence di Bandung, Selasa lalu (11/3/2025).
Welda Sanavero atau yang kerap dikenal W. Sanavero mengatakan, The Sounds of Silence merupakan debut karyanya pada genre Puisi. Sebab, selama ini ia konsisten menulis dengan genre prosa dan cerpen.
“Selama 10 tahun ini saya berkutat pada genre Prosa dan Cerpen. Saya sangat beruntung atas kesempatan ini, dan bangga pada ruang-ruang kritik sastra seperti Komuji Indonesia, tanpa itu, karya sastra hanya akan jadi cerita dan berhenti,” ungkapnya.
Ia juga menjelaskan, Tajuk Silence atau keheningan dapat diterima oleh teman-teman pembaca dari berbagai latar belakang. Sebab, dalam buku tersebut menjelaskan tentang kesenjangan sosial, politik, dan tubuh perempuan.
“Tajuk keheningan ini menjadi concern buat saya di tengah transisi pemerintahan yang mengacak aduk cara berpikir kita semua. Polarisasi terjadi disana dan disini. Tawaran untuk mengheningkan diri bukan bentuk keterasingan, namun sebagai collecting energies untuk kembali menguatkan sikap dari dalam diri secara hakikat sebagai manusia,” jelasnya.
“Hubungannya terhadap Tri Hita Kirana; Manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam, manusia dengan Yang Maha Kuasa,” tambahnya.
Kurator Bandung Berpuisi, Bob Anwar mengaku terkesima dengan karya milik Sanavero tersebut. Dia menyampaikan, puisi berjudul Misery of October dalam The Sounds of Silence membuat dirinya tercenung.
“Dalam puisinya terdapat kalimat ‘I have been on the inhumane cycle of becoming generalized, all are right on their side‘ (Aku telah berada dalam siklus tak manusiawi menjadi sesuatu yang digeneralisasi, semua benar di sisi mereka). Saya tercenung tentang betapa sering kita menerjemahkan dunia hanya dari sudut pandang kita dan menganggap diri kita benar karena, toh, semua orang juga begitu,” ungkapnya.
“Ini bukan hanya menyuarakan penindasan, tapi juga membuka jalan untuk membebaskan diri darinya. Puisi-puisinya menjadi apa yang Rifaterre mungkin akan sebut sebagai teks produktif atau eks yang tak hanya diproduksi oleh konteks sosialnya, tetapi juga memproduksi konteks baru,” jelasnya.
The Sounds of Silence bukan hanya sekedar karya sastra, tetapi juga merupakan praktik sosial yang mengundang pembaca untuk membebaskan diri dari penindasan dan memproduksi konteks baru. Dengan demikian, karya Sanavero telah menambahkan warna baru pada kancah sastra Indonesia dan mengundang pembaca untuk memasuki ruang keheningan yang memungkinkan mereka untuk merefleksikan diri dan lingkungan sekitar. (iam)